おはようございます...
Putri Kaguya (かぐや姫の物語 Kaguya
Hime no Monogatari, Kisah Putri Kaguya) atau Taketori Monogatari (竹取物語, Kisah Pengambil
Bambu) adalah cerita rakyat Jepang yang tertua. Kisah seorang anak
perempuan yang ditemukan kakek pengambil bambu dari dalam batang bambu yang
bercahaya.
Cerita
diperkirakan berasal dari awal zaman Heian. Di dalam Man'youshuu jilid ke-16 lemma
3791 terdapat chouka (prosa
panjang) berjudul Taketori no
Okina (Kakek Pengambil Bambu) yang mengisahkan seorang wanita dari
kahyangan (tennyo). Kisah ini
diperkirakan ada hubungannya dengan kisah Putri Kaguya yang juga dikenal
sebagai Taketori no Okina no Monogatari (Kisah
Kakek Pengambil Bambu). Kisah ini sangat
terkenal di Jepang dan banyak disukai anak-anak maupun orang dewasa.
Pengarang dan Tokoh dalam Cerita
Pengarang cerita ini sampai saat ini
tidak diketahui. Namun berdasarkan persentase orang Jepang yang melek huruf
saat itu, cerita ini diperkirakan ditulis oleh seseorang dari kalangan atas. Pengarang
diperkirakan tinggal di sekitar ibu kota Heian-kyou,
dan memiliki akses informasi tentang kalangan bangsawan. Tema cerita anti
kemapanan, sehingga kemungkinan pengarang tidak berasal dari klan Fujiwara.
Pengarang diperkirakan seorang laki-laki karena paham betul tentang sastra
klasik Tiongkok, agama Buddha, cerita rakyat, dapat menulis aksara kana, dan kertas berharga
mahal. Berdasarkan perkiraan di atas, cerita diperkirakan merupakan karya salah
seorang sastrawan besar seperti Minamoto no Shitagou, Minamoto no Touru, Bhiksu Henjo, atau Ki no Tsurayuki.
Tokoh-tokoh yang ditampilkan seperti
Putri Kaguya, kakek nenek pengambil bambu, dan kaisar adalah tokoh fiktif.
Namun dilihat dari nama-nama bangsawan dan pejabat yang melamar Putri Kaguya,
cerita ini kemungkinan besar mengambil model dari bangsawan dan pejabat yang
memang pernah ada pada zaman itu.
Jalan Cerita
Pada zaman dahulu hiduplah seorang
kakek bersama istrinya yang juga sudah tua. Kakek bekerja dengan mengambil
bambu di hutan. Bambu dibuatnya menjadi berbagai barang, dan orang-orang
menyebutnya “Kakek Pengambil Bambu”. Pada suatu hari, ketika kakek masuk ke
hutan bambu, terlihat sebatang bambu yang pangkalnya bercahaya. Kakek merasa
heran dan memotong batang bambu tersebut. Keluar dari dalam batang bambu,
seorang anak perempuan yang mungil, tingginya cuma sekitar 9 cm tapi manis dan
lucu. Anak perempuan tersebut dibawanya pulang dan dibesarkannya seperti anak
sendiri. Sejak itu, setiap hari kakek selalu menemukan emas dari dalam batang
bambu. Kakek dan nenek menjadi kaya. Dalam tiga bulan, anak perempuan yang
dibesarkan tumbuh menjadi seorang putri yang sangat cantik. Kecantikan putri
ini sulit ditandingi, begitu cantiknya sehingga perlu diberi nama. Orang-orang
menyebutnya Putri Kaguya (Nayotake no Kaguya Hime).
Berita kecantikan Putri Kaguya
tersebar ke seluruh negeri. Pria dari berbagai kalangan, mulai dari bangsawan
hingga rakyat biasa, semuanya ingin menikahi Putri Kaguya. Mereka datang
berturut-turut ke rumah Putri Kaguya untuk meminangnya, namun terus-menerus
ditolak oleh Putri Kaguya. Walaupun tahu usaha mereka sia-sia, para pria yang
ingin menikahi Putri Kaguya terus bertahan di sekeliling rumah Putri Kaguya.
Satu per satu dari mereka akhirnya menyerah, dan tinggal 5 orang pria yang
tersisa, yang semuanya pangeran dan pejabat tinggi.
Mereka tetap bersikeras ingin menikahi
Putri Kaguya, sehingga Kakek Pengambil Bambu membujuk Putri Kaguya, “Perempuan
itu menikah dengan laki-laki. Tolong pilihlah dari mereka yang ada”. Dijawab
Putri Kaguya dengan, “Aku hanya mau menikah dengan pria yang membawakan barang
yang aku sebutkan, dan sampaikan ini kepada mereka yang menunggu di luar”.
Ketika malam tiba, pesan Putri Kaguya
disampaikan kepada kelima pria yang menunggu. Pelamar masing-masing diminta
untuk membawakan barang yang mustahil didapat, mangkuk suci Buddha, dahan pohon
emas berbuah berkilauan, kulit tikus putih asal kawah gunung berapi, mutiara
naga, dan kulit kerang bercahaya milik burung walet. Pelamar pertama kembali
membawa mangkuk biasa, pelamar kedua membawa barang palsu buatan pengrajin, dan
pelamar ketiga membawa kulit tikus biasa yang mudah terbakar. Semuanya ditolak
Putri Kaguya karena tidak membawa barang yang asli. Pelamar keempat menyerah
akibat dihantam badai di perjalanan, sedangkan pelamar kelima tewas akibat
patah pinggang.
Berita kegagalan ini terdengar sampai
ke kaisar yang menjadi ingin bertemu dengan Putri Kaguya. Kakek Pengambil Bambu
membujuk Putri Kaguya agar mau menikah dengan Kaisar, tapi Putri Kaguya tetap
menolak dengan berbagai alasan. Putri Kaguya bahkan tidak mau memperlihatkan
dirinya di depan kaisar. Kaisar akhirnya memutuskan untuk menyerah setelah
saling bertukar puisi dengan Putri Kaguya.
Musim gugur pun tiba. Putri Kaguya
menghabiskan malam demi malam dengan memandangi bulan sambil menangis. Kalau
ditanya kenapa menangis, Putri Kaguya tidak mau menjawab. Namun ketika tanggal
15 bulan 8 (September) semakin dekat, tangis Putri Kaguya makin menjadi. Putri
Kaguya akhirnya mengaku, “Aku bukan manusia bumi, tanggal 15 ini pada
saat bulan purnama, aku harus kembali ke bulan”. Identitas sebenarnya Putri
Kaguya disampaikan kepada Kaisar. Prajurit-prajurit gagah berani diutus Kaisar
untuk melindungi Putri Kaguya dari jemputan orang Bulan.
Malam bulan purnama itu pun tiba,
sekitar jam 2 malam, dari langit turun orang-orang Bulan. Para
prajurit dan Kakek Pengambil Bambu tidak mampu mencegah mereka membawa Putri
Kaguya kembali ke bulan. Putri Kaguya adalah penduduk ibu kota bulan yang
sedang menjalani hukuman buang ke bumi. Sebagai tanda mata, Putri Kaguya
memberikan obat hidup kekal (不死 fushi, tidak
pernah mati) kepada Kaisar. Namun tanpa Putri Kaguya, Kaisar tidak merasa perlu
hidup selama-lamanya. Diperintahkannya obat tersebut untuk dibakar di Suruga,
di atas puncak gunung tertinggi di Jepang. Gunung tersebut kemudian disebut
“Fushi no Yama”, dan akhirnya disebut “Fujiyama” (Gunung Fuji). Obat yang
dibakar di atas gunung kabarnya membuat Gunung Fuji selalu mengeluarkan asap
hingga sekarang.
Source : https://id.wikipedia.org/wiki/Putri_Kaguya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar